Minggu, 08 April 2012

Special English

Especially Special English
SEBUAH PENGANTAR
            Pelajaran bahasa Inggris bukanlah mata ajar baru dalam dunia pendidikan di tanah air. Setidaknya anak bumi pertiwi sudah akan menjumpainya saat mereka memasuki kelas IV (empat) SD. Bahkan sebagian sekolah-sekolah Play Group dan Taman Kanak-kanak di Indonesia telah mengajarkan anak-anak usia dini berbahasa Inggris, minimal sekedar bermacam-macam nama buah, hewan, anggota tubuh hingga alat-alat yang biasa digunakan sehari-hari.
            Bila anak telah mempelajari bahasa Inggris sejak kelas IV SD saja, maka setidaknya ia telah 9 tahun mengenal bahasa global yang sangat mendunia itu saat mereka menginggalkan bangku SMA/SMK (sederajat) nanti. Waktu yang tidak bisa dikatakan singkat untuk mendalami suatu ilmu. Lantas bagaimanakah kualitas kecakapan berbahasa Inggris anak-anak Indonesia?

INDONESIAN ENGLISH
            Berbicara tentang kualitas, tentu masih merupakan sesuatu yang relatif. Tergantung dari mana dan bagaimana kita menilainya. Tapi secara umum, kualitas berbahasa Inggris di Indonesia masih belum bisa dikatakan baik bila enggan mengatakannya dengan istilah minim.
            Bahasa Inggris masih sering dianggap sebagai bahasa orang-orang kota, bahasa orang pintar, atau bahkan ada yang menyebutkannya dengan istilah ‘bahasa orang kaya’. Pasalnya, hanya anak-anak yang orangtuanya berkantong tebal yang bisa menikmati pendidikan di sekolah-sekolah asing atau berstandar internasional. Ini tentu saja sebuah masalah yang sudah sangat klasik di Indonesia. Tapi, selain masalah ekonomi yang usianya sudah menahun menjerat masyarakat Indonesia tadi_mungkin sudah sama tuanya dengan sejarah tanah air_saya menyoroti beberapa masalah lain mengapa kualitas berbahasa Inggris di Indonesia masih rendah. Di antara faktor-faktor itu adalah:

1)      Mindset
Baik guru maupun para pelajar di Indonesia masih memperlakukan bahasa Inggris sebagai ilmu teoritis non-praktis. Maka berkutatlah mereka padagrammar yang disodorkan dan diperlakukanlah formula-formula pada grammaritu layaknya rumus matematika. Makin diotak-atik, makin pusing kita dibuatnya.
Tidak sedikit dari para pelajar itu yang mengungkapkan dengan optimis dan tegas kalimat seperti, “Saya tidak akan lagi dipusingkan oleh bahasa Inggris saat saya kuliah pada jurusan ‘ini’ dan ‘itu’_selain bahasa Inggris_nanti.” Meski pada kenyataannya, mereka justru akan tetap disibukkan dan dilelahkan oleh jurnal-jurnal dan referensi yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris ketika mereka duduk di bangku perguruan tinggi.
Ironisnya, jadilah mereka para ‘penghamba’ alat terjemahan instant, translator. Karenanya tidak heran bila bahasa ‘acak-kadul’sering kali kita jumpai dalam makalah-makalah mereka bahkan pada lembar  abstrack (intisari) sebuah skripsi. Dengan mindset yang sedemikian itu, barulah mereka berkecimpung dengan kursus-kursus bahasa Inggris hanya untuk sekedar mendapatkan score TOEFL guna memenuhi syarat kelulusan di Perguruan Tinggi atau untuk melanjutkan S2.
Parahnya lagi, score TOEFL (tinggi-rendahnya) sering dianggap sebagai ukuran kecakapan dalam segala lini berbahasa Inggris. Sekilas itulah mindsetyang banyak ‘dianut’ di Indonesia. Faktor selanjutnya adalah…

2)      Sumber dan Materi Ajar
Teman-teman, masihkah Anda ingat bagaimana pelajaran bahasa Inggris yang pertama kali Anda pelajari? Alphabet. Ya itulah dia. Selanjutnya kita disuapi dengan sederet angka, kosa kata, percakapan, dan tentu saja soal-soal latihan. Singkatnya, kita difokuskan pada grammar, vocabulary, dan exams.
Kita terikat sekali dengan yang namanya buku ajar atau modul. Kadang saya berpikir bahwa, adalah sebuah kewajaran bila ilmu atau pengetahuan kita hanya sebatas buku ajar tersebut.
Bagaimana dengan listening? Di keumuman sekolah di Indonesia, listeninghanya dijumpai pada less persiapan jelang Ujian Nasional saja.
Praktik bercakap dalam bahasa Inggris? Aduh… yang ini agak lucu dan seru untuk dibahas. Kita bahas satu-satu berurut mulai dari buku ajar, listening, dan praktik bercakap ya?
a.      Buku Ajar
Dari buku ajar ini, kita banyak dituntut menguasai grammar atau tata bahasa dan menghafal kosa kata. Tanpa nilai praktis, grammar dan kosa kata yang kita hafal dan pelajari akan hanyut digerus arus waktu. Ditambah lagi materi ajar yang bisa dibilang sangat monoton. Misalnya orange yang kita kenal dengan jeruk dalam bahasa Indonesia selalu hadir sejak kita TK hingga kuliah. Itu saja yang kita tahu.
Bila muncul pertanyaan “apa bahasa Inggris-nya jeruk Bali, jeruk purut, jeruk nipis, jeruk kunci, (sebut saja keluarga jeruk yang lain juga)? Maka mata kita mulai muter-muter dengan otak kebingunggan memikirkannya.
Atau materi lain. Numeral, misalnya. Kita mungkin menganggap materi itu sederhana. Dalam buku ajar kita di Indonesia memang begitu kenyataannya. Tapi benarkah ia sesederhana itu? Saya sering bertanya pada teman-teman mahasiswa “bagaimana kita mengungkapkan akar enam belas, akar tiga dari enam puluh empat, sepuluh pangkat dua, sepuluh pangkat negatif tiga, tujuh-dua per enam dalam bahasa Inggris“? Tidak semua ungkapan itu dapat mereka jawab dengan benar, bahkan lebih banyak lagi yang tidak mampu menjawab semuanya. Buku ajar biasanya bicara sebatas one-two-three dan atau first-second-third.
Materi awal tadi, alphabet, juga demikian. Kita sering menggampangkannya. Pada kenyataannya spelling tidaklah segampang  a [ei], b [bi], c [si], d [di]. Kalau memang demikian, saya menyarankan untuk ikut serta dalam Spelling Bee ke USA.Yakin menang gak tuh? Haha…
Itulah yang saya maksud dengan istilah ‘ilmu kita hanya sebatas buku ajar’karena hanya itu yang disediakan oleh buku ajar kita pada umumnya. Kita hanya sebatas tahu orange, one-two-three-dan a-b-c. Hal ini menyebabkan kualitas berbahasa Inggris di Indonesia menjadi kurang berkembang.
b.      Listening
Listening adalah salah satu dari empat kecakapan bahasa Inggris yang harus kita kuasai. Sayangnya, bahan ajar untuk listening diakui masih belum memenuhi standar kelayakan. Bahkan banyak yang masih menggunakan audio lama dengan kaset tape. Kecakapan listening ini harus dilatih untuk membiasakan diri agar saat berkomunikasi dengan native kita tidak canggung lagi dengan apa yang mereka ucapkan.
Antara ‘ice cream’ dan ‘I scream’ akan terdengar sama saat diucapkan. Begitupun dengan ‘his student’ dan ‘he’s student’. Karenanya listening perlu dilatih. Minimnya latihan listening di sekolah dengan alasan keterbatasan bahan dan media, sudah cukup untuk membuat kualitas kita dalam bercakap menjadi tidak optimal.
c.       Kecakapan Berbicara
Bicara tentang speaking, lucu dan seru adalah dua kata yang penuh ‘kesan’ bagi saya. Abang saya yang pernah menempuh pendidikannya di USA, pernah ingin pulang di beberapa minggu pertama saat berada dan tinggal di negeri Paman Sam ini. “Saya selalu dikatai [maaf] anjing,” lapor Abang saya pada Bunda. Yang dimaksud abang saya adalah idiom work like a dog. Ceritanya begini, Abang saya diharuskan untuk mengikuti English Preparation terlebih dahulu selama satu tahun sebelum ia boleh masuk kuliah.
Nilai yang didapat oleh Abang saya ini tidak cukup baik karena belum mampu beradaptasi di lingkungan serba baru baginya itu. Karena itu teman-temanya sering memberinya semangat “you have to work like dog!” yang kemudian ia artikan secara harfiah kamu harus bekerja seperti anjing. Karena bosan, enggan, dan malu akhirnya  ia beralasan ‘sakit’ untuk tidak hadir di kelasnya. Maka pembimbingnya bertanya “Are you sick as a dog?”
Abang saya lagi-lagi mengartikannya secara mentah-mentah “Apa elo sakit macam anjing?” Begitu terjemahan ala Abang saya. Ini benar-benar lucu. Mengapa ini bisa terjadi? Karena semasa ia sekolah di Indonesia, ia mungkin hanya diberi materi ‘orange’ dan ‘one-two-three’ tadi itu pada buku ajarnya.
Saya pun masih ingat betul masa-masa saat SD dulu, bagaimana saya maju ke depan kelas memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. Saya bangga sekali kala itu.
Tiga tahun setelahnya, awal SMP, laman awal Bab I buku bahasa Inggris memuat lagi materi perkenalan diri itu. Saya mulai bosan. Dan menjadi muak saat materi itu kembali menghiasi bab satu ketika saya masuk SMA.
Setelahnya, maksud saya setelah materi perkenalan itu, adalah Daily Activities yang sama monotonnya. Kemudian Telling Story dalam bentuk Past Tense yang sama nasibnya dengan yang lain. Monoton.
Dari saya SD hingga SMA selalu saya temui materi dialogue seperti ini:
A    : “What’s your name?”
B    : “My name is….”

Atau…

A    : “Hi, how are you?”
B    : “I am fine. Thank you. And you?”

Terus saja begitu. Saat orang bertanya nama, anak Indonesia akan ‘selalu’ menjawab dengan “My name is…” Ini lucu dan tidak membumi. Tidak komunikatif. Kita terpaku oleh suasana formal dan saat terjun langsung ke dunia para nativeseperti USA, kita akan terkesan serba canggung. Bahasa ‘gaul' Indonesia menyebutnya dengan istilah ‘katrok’ atau ‘ndeso’.
Maka tingkatan kelas dari SD hingga SMA itu saya bisa menebak apa saja materi yang mungkin akan saya temui. “Ekspresi Terima Kasih” bahkan tetap dan terus saya temui hingga kelas XII, tingkat akhir di SMA. Seolah materi-materi itu tidak pernah ada habisnya dan Silabus Bahasa Inggris di Indonesia seperti kurang ‘stok’ materi.
Materi itu penting memang, tapi bila tiap level, tiap kelas, materinya itu-itu saja, kapan berkembangnya kecakapan kita dalam berbicara? Anak-anak Indonesia yang disodorkan dengan ilmu-ilmu monoton semacam itulah yang nanti saat berada di USA, akan marah atau tersinggung ketika orang mengatakan “You have to work like a dog” atau malah terserang jantung sungguhan saat ia demam mendapat SMS berbunyi “Are you sick as a dog?”

VOA SAMBUT TANTANGAN
            Setelah saya berpanjang-lebar menggerutu tentang materi bahasa Inggris yang minim dan monoton di tanah air, saya menemukan jawaban atas segala keluh kesa itu. Semua jawaban itu ada di VOA Special English.
            Materi yang tidak monoton, komplit untuk tiap levelnya, inovatif, komunikatif, dan kreatif adalah gambaran saya untuk VOA Special English. Tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa cukup satu klik: voaspecialenglish.comatau voanews.com/specialenglish, maka masuklah kita ke dalam labaratorium Bahasa modern yang serba ada.

Bagaimana VOA menyambut tantangan ini?
            Kekurangan ‘stok’ materi ajar bahasa Inggris dengan serba kekurangannya tadi dijawab oleh VOA dengan memberikan materi-materi berbobot luar biasa. Mulai dari level awal hingga kelas master. Artikel, audio, interactive learning, hingga sejarah Amerika disediakan dengan lengkap dan sangat komunikatif. Pembelajarannya tidak monoton dan asyik.
            Kami tidak hanya menjadi para penerima formula grammar, tapi juga mendalami bahasa Inggris yang lebih luas. Mengetahui budaya Amerika, People in America, idiom yang lebih banyak, bahkan kami bisa mendiskusikan berita tentang politik Amerika.
            Dulu banyak sekali yang enggan belajar bahasa Inggris bersama karena alasan materi yang jlimet dan monoton itu. Tapi dengan mengakses web VOA Special English, kelas belajar bahasa Inggris kami menjadi produktif dan hanya dalam beberapa pertemuan kami telah merasakan hasilnya. Perbedaan kualitas berbahasa Inggris kami yang dulu dengan sekarang menunjukkan kemajuan yang lebih baik.
Komunitas itu kami beri nama Learning Circle. Kami akan membahas materi-materi yang kami peroleh di VOA Special English dalam setiap pertemuan yang kami jadwalkan setiap Selasa dan Jum’at pada pukul yang sama, yaitu 18:30 WIB.
            Melalui artikel ini, saya mewakili teman-teman di Learning Circle hendak menghaturkan terima kasih pada seluruh Tim Kerja VOA, especially VOA Special English.
            By meeting together as a group and taking part in different activities, we can enjoy ourselves while practicing English. Learning doesn’t have to be serious and difficult – and having fun in a Learning Circle always help us relax more and boost our confidence in our English skills. Remember – laughter can lighten learning!


* Re-blogged
Foto saya
Cilegon, Banten, Indonesia
desires B L O G G I N G and F A S H I O N RUNWAYS

Project Runway